Senin, 25 Juli 2011

Impor Beras, Politik Beras atau Beras Politik?

Kabar menyakitkan petani kembali dibuat oleh elite negeri ini. Kebijakan impor beras yang akan dilakukan Bulog melukai hati petani yan telah berjuang membuat negeri ini surplus beras sejak tahun 2008. Fakta ilmiah sudah dikeluarkan oleh BPS, meski konsumsi capai 33,5 juta ton, RI masih surplus beras 2,4 persen. Inilah bukti bahwa petani benar-benar pahlawan pangan yang seharusnya mendapatkan tanda jasa setiap tahun.
 
BPS pada tanggal 1 maret 2011 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan bertambah sekitar 3,8 juta jiwa menjadi 241,1 juta jiwa. Penambahan penduduk tersebut akan meningkatkan kebutuhan konsumsi beras per kapita per tahun menjadi 139,15 kilogram, sehingga total kebutuhan beras nasional diproyeksi mencapai 33,5 juta ton.
 


Walaupun pertumbuhan padi diyakini hanya 1,35%, namun masih akan terjadi surplus beras pada akhir tahun sebanyak 4,29 juta ton. Namun kondisi ini memang itu tidak menjamin persediaan beras setiap bulannya mencukupi kebutuhan sehingga perlu manajemen perberasan nasional yang baik. selama Januari-April surplus beras akan terjadi, meski impor belum dilakukan. Namun, mulai Mei hingga Juli terkadang terjadi defisit beras. Oleh karenanya manajemen stok beras menjadi sangat penting untuk mengendalikan harga beras selama 2011.
 
Inilah faktanya bahwa beras bukan tidak ada atau kurang, namun pertanyaannya kenapa Bulog ngotot impor beras? Beras ini untuk siapa? Sehingga mengalahkan nasib 25 juta keluarga petani yang telah bersimbah 'darah' menghasilkan beras untuk pejabat sampai rakyat jelata di nusantara ini? Bukannya ucapan terima kasih namun sebaliknya 'membunuh' petani secara perlahan-lahan dengan impor beras. Pengalaman India membuktikan petani bunuh diri massal karena frustasi oleh kondisi harga pangan yang jatuh setelah pemerintah membuat kebijakan impor beras yang mencekik hasil penen mereka. Jangan sampai terjadi di negeri kita. 

Ekonomi Perberasan Nasional

Agus Saifullah (2001) menyatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik yang menyangkut aspek pra produksi, proses produksi, serta pasca produksi. Salah satu lembaga pangan yang diberi tugas pemerintah untuk menangani masalah pasca produksi, khususnya dalam bidang harga, pemasaran dan distribusi adalah Badan Urusan Logistik (Bulog).
 
Tugas yang diberikan kepada Bulog merupakan implementasi kebijakan harga seperti yang diusulkan Affif dan Mears tahun 1969 yang meliputi pertama menyangga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, kedua perlindungan harga maksimum yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, ketiga perbedaan harga yang layak antara harga dasar dengan harga maksimum agar merangsang perdagangan, keempat hubungan harga yang wajar antara harga domestik dengan harga internasional (Mears, 1982).

Untuk mencapai tujuan di atas, paket instrumen kebijakan yang ditempuh adalah pertama menetapkan harga dasar, kedua melakukan pembelian gabah/beras hasil produksi pada masa panen, ketiga memberikan tambahan gaji dalam bentuk beras kepada PNS dan TNI/Polri, keempat melakukan operasi pasar dengan menambah pasokan beras ke pasar umum pada saat paceklik dan di daerah defisit, kelima mengisolasi pasar beras domestik dari pengaruh pasar beras dunia melalui monopoli impor beras hanya oleh Bulog, keenam mendistribusikan beras ke berbagai daerah dan menetapkan harga jual beras yang berbeda antar daerah untuk merangsang perdagangan swasta. 

Kedaulatan Pangan Nasional

Melihat masalah dan teori kebijakan perberasan nasional memang sangat timpang. Tujuan pokok adanya Bulog adalah untuk memberikan jaminan akan lahirnya kedaulatan pangan berbasis produksi pangan nasional, namun sebaliknya Bulog menjadikan impor beras sebagai andalan utama saat menghadi kondisi surplus beras petani. Jika kita mencari alasan impor pasti mudah, menyediakan stok pangan nasional, tidak ada alasan ilmiah yang mendukung kebijakan impor ini.
 
Buktinya produksi padi nasional 2011 menurut BPS sebanyak 65.152.748,33 ton gabah setara dengan 43.394.282 beras, jika kebutuhan per orang/gram/hari setara 45 gram maka kebutuhan nasional 2011 dengan asusmsi pertumbuhan penduduk 2% maka kebutuhan pangan kita 236, 6 Juta penduduk maka beras yang dimakan rakyat Indonesia sekitar 38.005.200 ton, artinya masih sisa sekitar 4,9 juta ton beras. Ketersedian ini belum ditambah dengan makanan non beras yang dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Dari sisi ini kita berani mengatakan bahwa syarat ketersedian pangan cukup, tidak memerlukan tambahan pangan yang sejenis seperti beras.

Kondisi ini dicapai oleh petani Indonesia yang secara dukungan politik masih jauh dari harapan. Negara maju seperti Jepang, mensubsidi petaninya secara besar-besaran dengan bea masuk yang sangat tinggi sehingga harga beras di Jepang bertahan pada tingkat 500 yen (sekitar Rp 32 ribu per kg). Harga ini sepuluh kali lipat dibanding harga internasional. Negara-negara maju seperti AS, Kanada, Uni Eropa yang paling bersemangat meneriakkan pasar bebas ternyata melakukan rintangan cukup besar terhadap barang-barang pertanian yang masuk negaranya. Mereka menghadangnya dengan berbagai peraturan dan bea masuk.

Sebaliknya Indonesia yang tergabung dalam G8 sebagai negera agraris tidak berani menerapkan bea masuk impor beras, bahkan cenderung 'menikmati' adanya kebijakan ini sebagai satu–satunya cara menjaga cadangan pangan nasional. Kegagalan Bulog dalam menyerap beras dan gabah petani berakibat penderitaan petani nasional. Konteks kedaulatan pangan saat ini hanya dipahami oleh Bulog sebagai ketersedian pangan saja, padahal ada akses pangan dan kualitas pangan yang penting diperhatikan.

Beras Politik

Kebijakan impor beras ini syarat akan muatan bisnis dan kepentingan politik yang mengabaikan nasib rakyat kecil, khususnya petani. Indikasinya pertama bahwa stok pangan cukup sampai akhir tahun. Impor beras ini jelas hanya untuk mengejar keuntungan bagi pengusaha 'hitam' yang tidak mengerti nasib petani. Kedua, amburadulnya kinerja Bulog ditutupi dengan pangan cukup dari impor. Logikanya jika kinerja jelek maka Bulog harusnya tahu diri dan memperbaiki diri melalui penyerapan gabah petani, bukan menguntungkan petani luar negeri. Revitalisasi Bulog menjadi pilihan tepat melihat kinerjanya selama ini.
 
Ketiga, isu kenaikan inflasi yang ditakutkan oleh pemerintah hanyalah strategi untuk memutuskan impor beras. Justru dengan impor beras ini maka harga beras petani dalam negeri akan anjlok dan membuat makro ekonomi di lokal menjadi lesu. Petani akhirnya membeli beras dengan harga tinggi, karena spekulan beras menyimpan beras sampai menunggu kenaikan harga. Kondisi diatas menguatkan bahwa beras sebagai alat politik yang sering salahgunakan untuk melahirkan kemiskinan berikutnya. 

Akhirnya kita hanya melihat drama beras politik ini sebagai skenario negara maju untuk terus menjadikan negara Indonesia sebagai 'sampah' besar bagi produk pangan dan telanjangnya kebobrokan manajemen pangan nasional yang membawa korban petani dan rakyat miskin di pedesaan. 

1 komentar:

YOGYAKARTA mengatakan...

saya suka tentang artikel anda. semoga blog ini maju terus. sukses.

Posting Komentar